Selasa, 13 Oktober 2009

PERPUSTAKAAN MENYIKAPI KEBERADAAN INTERNET

Oleh B. Sudarsono PDII LIPI
PENDAHULUAN

Penulis diminta menyampaikan pendapat tentang keberadaan perpustakaan di jaman Internet sekarang ini. Panitia memberikan judul bahasan: Perpustakaan, Mampukah Bersaing dengan Internet? Pertanyaan ini wajar muncul karena ada pendapat mengapa harus ke perpustakaan jika kebutuhan informasi dapat dipenuhi dari Internet. Seakan semua informasi tersedia di Internet. Kenyataan, semakin banyak pihak yang melangkah ke Internet terlebih dahulu dalam mencari informasi. Pertanyaan itu dapat juga muncul akibat rasa tidak puas para pencari informasi atas kinerja perpustakaan. Perpustakaan sering lambat dalam menjawab kebutuhan informasi pengguna. Perpustakaan juga dianggap lambat dalam menerapkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Perpustakaan sepertinya menjadi lembaga yang ketinggalan jaman. Puncak argumen adalah apakah keberadaan perpustakaan masih perlu dipertahankan?

Pendapat di atas penulis duga berasal dari pihak yang sebenarnya tidak mengetahui dan tidak memahami akan hakikat sebuah perpustakaan. Sayang pihak perpustakaan, yang dalam hal ini adalah para pustakawannya sering terseret arus pendapat umum tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa kebanyakan pustakawan tidak mampu atau belum berhasil meyakinkan pihak lain tentang peran dan fungsi perpustakaan yang benar dalam keseharian hidup masyarakat. Sehingga banyak pustakawan menerima saja posisi yang ditentukan pihak lain. Bagi pustakawan judul pemberian panitia tersebut harus menjadi pertanyaan reflektif atas kemampuan perpustakaan bersaing dengan Internet. Dapat dirasakan adanya nada kekawatiran atas eksistensi perpustakaan, di samping nada harapan akan adanya pembelaan untuk menjawab pernyataan atau pertanyaan dari pihak non pustakawan.

Muncul pertanyaan penulis atas judul dari panitia itu. Apakah memang benar perpustakaan bersaing dengan Internet? Bukankan keberadaan Internet sudah menjadi keniscayaan yang sangat berpengaruh di dunia sekarang? Bahkan ada yang mengatakan Internet berhasil memporak-porandakan kemapanan yang konservatif? Ibaratnya gelombang, Internet datang bergulung-gulung dengan dahsyatnya. Tidak ada gunanya bersaing dengan gelombang yang memang menjadi fenomena alam itu. Kiranya akan mengasyikkan jika mampu berselancar di atas gelombang tersebut. Apakah perpustakaan akan berselancar atau berenang menghadapi gelombang Internet? Atau bahkan perpustakaan tinggal saja dipantai melihat betapa indahnya gelombang yang bergulung-gulung itu? Jika cerdas, perpustakaan tentu akan berselancar meniti gelombang Internet. Memang untuk ini diperlukan keberanian dan ketrampilan. Dengan kata lain perpustakaan hendaknya justru memanfaatkan Internet. Oleh sebab itu penulis mengubah judul tulisan, guna mencari jawab perpustakaan atas keberadaan Internet. Diharapkan kita dapat menyikapi eksistensi Internet dengan benar.


KONSEP PERPUSTAKAAN & PERKEMBANGANNYA

Definisi perpustakaan ternyata tidak tunggal, namun beragam tergantung pada pendekatan yang dipakai. Pendekatan yang berorientasi pada lokasi mendefinisikan perpustakaan adalah ruangan atau gedung. Pendekatan yang berorientasi pada substansi mendefinisikan perpustakaan adalah koleksi pustaka. Sedang Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan mendefinisikan perpustakaan adalah lembaga atau institusi, karena memakai pendekatan yang berorientasi pada organisasi. Penulis memilih pendekatan substansi, karena substansi lebih penting dibanding dengan wadah yang dalam hal ini adalah lokasi ataupun organisasi. Dengan pendekatan substansi maka definisi perpustakaan menjadi: koleksi pustaka terpilih yang dikelola dengan cara tertentu untuk memenuhi kebutuhan intektual pemakainya.

Telah dipahami bahkan diyakini bahwa perpustakaan menjalankan lima fungsi dasar yaitu: pendidikan, penelitian, pendokumentasian, informasi, dan rekreasi. Lima fungsi dasar ini juga disebut oleh UU No 43 Th 2007. Hanya saja UU itu menyebut dokumentasi dengan kata pelestarian. Penulis memakai istilah dokumentasi karena memang makna dokumentasi lebih luas dari sekedar pelestarian. Apalagi makna dokumentasi yang dimaksud tidak hanya sekedar dokumentasi literatur seperti yang biasa dipahami kebanyakan pustakawan Indonesia. Padan kata yang penulis gunakan untuk istilah pendokumentasian adalah kata pengabadian. Apa yang didokumetasikan dalam perpustakaan sebenarnya adalah pengetahuan.

Manusia mengekspresikan apa yang dipikirkan dan atau dirasakan dalam bentuk simbol. Simbol ini menjadi tulisan dengan ditemukannya aksara. Penemuan ini menjadi gelombang pertama, awal gerakan perpustakaan. Semua pernyataan lisan mulai didokumentasikan dengan tulisan pada lembar lepas. Kumpulan lembaran lepas tertulis ini disatukan menjadi buku atau pustaka. Akumulasi dari buku menjadi koleksi pustaka, merupakan awal dari berdirinya suatu perpustakaan. Dahulu akses terhadap buku masih terbatas. Akses ini hanya dapat dilakukan oleh kalangan tertentu. Bahkan dapat dikatakan sebagai kewenangan istimewa kelompok elit. Pengetahuan yang terekam dalam buku masih dianggap rahasia. Selain itu orang yang dapat membaca memang masih sangat sedikit.

Sayang dalam perjalanan kehidupan perpustakaan di Indonesia tampaknya agak melupakan fungsi dokumentasi. Tidak semua perpustakaan menjadi tempat dokumentasi dari apa yang dihasilkan oleh masyarakat pemangku kepentingannya. Dapatkan dijamin bahwa produk tertulis dari warga pemangku kepentingan sudah didokumentasikan secara lengkap dalam perpustakaan itu? Ambil contoh misalnya perpustakaan penelitian, apakah sudah mendokumentasikan secara lengkap semua hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga induknya? Apakah perpustakaan universitas telah mengabadikan semua hasil dari sivitas akademikanya? Apakah perpustakaan sekolah juga mendokumentaskan karya guru dan murid setempat? Apakah Perpustakaan Nasional sudah mengabadikan secara lengkap buku produk nasional?
Gelombang kedua terjadi saat mesin cetak ditemukan. Produksi buku tercetak menjadi berlipat ganda karena mesin itu. Akses pada pustaka tercetak sudah mulai terbuka pada masyarakat karena ketersediaan buku menjadi lebih banyak. Pada saat inilah pengetahuan mulai tidak hanya menjadi monopoli kelompok elit. Benih demokrasi mulai tumbuh seiring dengan tumbuhnya kemampuan baca masyarakat luas. Revolusi mesin cetak juga didorong kuat oleh revolusi industri. Industri memerlukan banyak tenaga ahli maupun tenaga terampil. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga itu, sekolah formal mulai kewalahan. Ini mengakibatkan muncul ide perpustakaan umum. Negara menyediakan perpustakaan dengan semangat membangun koleksi pustaka yang beragam dan dalam jumlah yang besar. Masyarakat diharapkan dapat belajar sendiri dengan menggunakan koleksi perpustakaan umum. Perpustaaan menjadi lembaga yang demokratis karena meniadakan semua perbedaan yang ada dalam masyarakat untuk memakai perpustakaan. Kini perpustakaan menjadi salah satu sarana pembelajaran sepanjang hayat.

Dengan semakin besarnya jumlah buku, pengurus perpustakaan menemui masalah baru dalam mengelola koleksi. Diperlukan cara tertentu untuk menyusun buku agar dapat menemukannya kembali dengan cepat saat buku itu diperlukan. Inilah awal dari ilmu perpustakaan yang masih berorientasi pada hal-hal teknis. Puncak pencapaian pustakawan adalah sistem simpan dan temu kembali buku. Adalah niat sebagian ilmuwan di Eropa untuk mengelola apa yang terkandung dalam buku menggunakan cara pustakawan mengelola buku. Cara inilah yang mereka namakan dokumentasi. Didirikan organisasi dokumentasi internasional (FID). Konsep dokumentasi merambah Amerika dengan berdirinya American Documentation Institute (ADI). Kini organisasi itu sudah bermetamorfosa menjadi American Society of Information Science and Technology (ASIST). Perkembangan lebih lanjut terjadi sinergi antara ilmu perpustakaan dan ilmu informasi menjadi Library and Information Science (LIS). Mulai saat itulah sebagian pustakawan menyebut dirinya sebagai ahli informasi. Ada pergeseran tugas pustakawan dari mengelola buku menjadi mengelola informasi.

Revolusi ketiga terjadi saat muncul TIK, termasuk munculnya jaringan Internet. Terbukti bahwa Internet tidak saja memudahkan akses pada dokumen dokumen tertulis, bahkan dapat dikatakan memporak-porandakan ketentuan yang berlaku dalam masyarakat. Perpustakaan menjadi lembaga ”terparah” mengalami perubahan yang semula terpikirkan saja tidak. Demikian juga dalam konsep penerbitan. Siapa saja dapat mengakses apa saja dan menerbitkan apa saja di Internet. Oleh sebab itu untuk menggunakan semua sumber informasi khususnya dalam Internet diperlukan kemampuan tidak hanya sekedar kemampuan beraksara namun juga kemampuan berinformasi (information literate). Perpustakaan menjadi pusat pengembangan kemampuan ini. Pada tahap inilah pustakawan diharapkan dapat mengelola pengetahuan yang tersedia dalam berbagai sumber daya informasi. Terjadi lagi penambahan tugas pustakawan dengan pengelolaan pengetahuan atau lebih dikenal dengan knowledge management (KM).

Selanjutnya perkembangan sistem simpan digital yang begitu mengagumkan telah menjadikan apa yang dapat disimpan di Internet tidak saja apa yang terbaca, namun juga yang terlihat dan terdengar. Dengan kata lain apa yang tersedia di Internet menjadi ragam multi media. Interaksi antar pengguna Internet berkembang tidak sekedar pos elektronik, namun sudah menjadi cara mempublikasikan diri, pikiran, dan karya menggunakan multi media. Dalam Internet tersedia kemudahan untuk melakukan itu semua seperti perangkat blog, podcast, flicker, youtube, wiki, /face book, dsb. Web telah memasuki generasi yang disebut dengan Web 2.0. Pada generasi inilah pengguna dapat juga sekaligus menjadi pembuat dan penyedia pengetahuan. Pengaruh Web 2.0 juga merambah ke perpustakaan. Konsep inilah yang dikenal dengan Perpustakaan 2.0 (Library 2.0). Apa sebenarnya perpustakaan 2.0 itu?

Cobalah kita simak apa yang ditulis Michael E. Casey dan Laura C. Savastinuk, dalam Library Journal, 9/1/2006 yang berjudul Library 2.0 : Service for the next-generation library. Dikatakannya bahwa library 2.0 (L 2.0) dapat merevitalisasi cara kita berinteraksi dan melayani pengguna kita. Jantung L 2.0 adalah perubahan yang berpusat pada pengguna. Merupakan model layanan perpustakaan yang mendorong perubahan berkelanjutan yang berguna, dengan mengundang partisipasi pemakai dalam mencipta serta mengevaluasi baik layanan fisik maupun virtual yang mereka kehendaki. Juga berupaya mencari pengguna baru dan melayani pengguna yang sudah ada dengan lebih baik. Sebenarnya konsep inipun sudah lama dikenal pustakawan dengan terminologi users oriented. Konsep users oriented inilah yang direvitaliasi meski tidak selalu harus dengan TIK.

Sarah Houghton mendefinisikan L 2.0 sebagai berikut:

“Library 2.0 simply means making your library’s space (virtual and physical) more interactive, collaborative, and driven by community needs. Examples of where to start include blogs, gaming nights for teens, and collaborative photo sites. The basic drive is to get people back into the library by making the library relevant to what they want and need in their daily lives…to make the library a destination and not an afterthought.”

Dua pokok terpenting yang harus dicermati dari penyataan di atas adalah: 1) membuat ruang perpustakaan (baik fisik maupun maya) lebih interaktif, kolaboratif, dan digerakkan oleh kebutuhan komunitas; 2) membuat perpustakaan menjadi penting sesuai dengan keinginan dan kebutuhan dalam keseharian hidup masyarakat sehingga mereka kembali ke perpustakaan. Definisi Houghton memang tidak eksplisit menyebut bahwa Perpustakaan 2.0 harus memakai Web 2.0. Definisi ini lebih menekankan pada semangat atau roh yang menggerakkan layanan perpustakaan akibat pemakaian TIK.

Selanjutnya definisi di atas dirumuskan oleh John Blyberg dengan persamaan berikut :

library 2.0 = (books and stuff + people + radical trust) x participation

Dalam rumus ini, variabel koleksi, orang, dan partisipasi merupakan variabel yang sudah terbiasa kita kenal dalam perpustakaan. Variabel yang mungkin baru adalah kepercayaan radikal. Namun variabel yang sangat menentukan adalah partisipasi karena sebagai faktor pengali. Semakin besar faktor ini akan semakin besar hasil persamaan di atas. Permasalahan kita adalah bagaimana mewujudkan keempat variabel tersebut agar hasilnya optimum. Perlu diingat bahwa meski variabel koleksi sudah sering kita kenal dan menjadi variabel utama perpustakaan, justru kita suka lupa bahwa variabel ini merupakan fungsi dari waktu (t). Bahkan semua variabel dalam persamaan itu adalah fungsi dari waktu juga. Artinya variabel itu berubah tergantung dari waktu, atau dapat dikatakan dinamis. Dinamika adalah roh menuju masa depan!

Haruslah diperhatikan tiga variabel yang sangat berkaitan yaitu: orang, kepercayaan radikal, dan partisipasi. Orang dalam hal ini adalah yang berada dalam lembaga perpustakaan dan yang berada di luar lembaga termasuk para pengguna perpustakaan. Pertanyaan pertama yang mendasar adalah apakah sudah ada komunikasi di antara orang-orang itu? Selanjutnya apakah komunikasi itu menghasilkan kepercayaan di antara mereka? Secara rinci: 1) apakah sudah ada kepercayaan antar pustakawan dalam satu perpustakaan; 2) bagaimana kepercayaan antara pustakawan dan pihak non-pustakawan termasuk para penentu kebijakan dalam satu lembaga; dan 3) bagaimana juga kepercayaan antara pustakawan dan para pengguna perpustakaan?

Selanjutnya upaya yang harus kita laksanakan adalah bagaimana membangun kepercayaan itu dan mengembangkannya menjadi kepercayaan yang radikal diantara mereka. Kepercayaan radikal hukanlah sembarang asal percaya. Idealnya adalah kepercayaan yang saling menumbuhkan. Kepercayaan yang saling menguatkan. Berawal dari interaksi akan menumbuhkan perkenalan; selanjutnya akan mengembangkan kepercayaan; dan berpuncak pada kepercayaan yang saling menumbuhkan atau menguatkan. Kepercayaan yang radikal inilah yang akan melipatgandakan partisipasi. Dengan tingginya partisipasi maka persamaan Blyberg di atas akan menghasilkan nilai yang besar. Partisipasi menjadi mutlak dalam P 2.0. Bayangkan jika nilai faktor ini = nol, meski nilai semua variabel tinggi, hasilnya tetap nol besar.

Selain itu Blyberg dalam blognya di blyberg.net juga mengatakan 11 alasan mengapa L 2.0 muncul :

1. L2 is partially a response to a Post-Google world
2. L2 requires internal reorganization
3. L2 requires a fundamental change in a library’s mission
4. L2 requires a fundamental change in how we handle “authority”
5. L2 requires technological agility
6. L2 challenges library orthodoxy on almost every level
7. L2 requires a radical change in the way ILSs and vendors work
8. L2 both enables and requires libraries to work together
9. L2 is actually happening
10. L2 is revolutionary
11. L2 is essential for survival/pertinence

Kehadirnan Perpustakaan 2.0 memerlukan Pustakawan 2.0. Apa itu Pustakawan 2.0? Meski tidak dibahas, namun penulis lampirkan manifesto pustakawan 2.0 agar dapat direnungkan (lampiran 1). Perkembangan berikutnya yang juga belum akan dibahas di sini adalah generasi perpustakaan paska 2.0. Banyak sudah disebut tentang Perpustakaan 3.0 yang kehadirannya sudah mulai nampak. Menyadari perkembangan konsep perpustakaan pada masa sekarang, sebenarnya tidak perlu ada anggapan bahwa perpustakaan tidak diperlukan lagi karena ada Internet. Meski hampir semua informasi dapat diperoleh melalui Internet, namun jasa informasi ini hanya merupakan salah satu dari lima fungsi dasar perpustakaan. Ada fungsi lain dari perpustakaan yang sukar dilakukan Internet yaitu pendidikan, dan penelitian



KEHADIRAN INTERNET

Internet sendiri sebenarnya adalah jaringan global dari berbagai jaringan komputer yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Internet tidak akan ada jika tidak ada jaringan telekomunikasi. Jaringan telekomunikasi ini dapat menggunakan kabel atau serat optik maupun melalui gelombang radio. Pada mega jaringan itulah terhubung jutaan komputer baik sebagai server ataupun client. Jaringan maya tersebut sudah sangat kompleks jalin-menjalin tanpa ada otoritas yang mengatur. Dalam komputer data, text, suara, gambar mati maupun gambar hidup dapat disimpan. Selanjutnya melalui Internet semua jenis data itu dapat diakses, dikomunikasikan, dipancarkan, atau ditayangkan. Internet dapat dianalogikan sebagai rimba raya, tempat semua jenis flora dan fauna hidup, tumbuh dan berkembang.

Demikan juga Internet, tempat tumbuh dan berkembangnya semua jenis informasi, pengetahuan, dan hiburan. Siapa saja yang mau dapat dengan bebas menyimpan semua jenis data melalui Internet. Internet adalah dunia kebebasan orang berekspresi maupun mencari informasi. Meski upaya meredam kebebasan dapat saja dilakukan oleh pemilik server namun upaya tersebut dapat dikatakan akan tidak berarti sama sekali. Sehingga isi kandungan Internet dapat dikatakan apa saja dari yang sangat baik, benar, dan mulia sampai sesuatu yang sangat buruk, jahat, dan menyesatkan bahkan mencelakakan. Siapapun dapat mengakses, menggunakan, dan menyebarkan kembali baik sisi putih maupun hitam dari Internet. Jika ingin menggunakan Internet secara baik dan benar, pelaku harus memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan kebijaksanaan dalam berhadapan dengan dunia maya informasi. Inilah yang kita kenal dengan kemampuan berinformasi (information literate).

Secara singkat gambaran keadaan Internet pada 2002 diberikan oleh A. B. Credaro seperti berikut:
· Terdapat lebih dari 4 milyard situs web yang dapat di akses
· Hanya 6% yang berisi materi pendidikan
· Umur hidup rata-rata hanyalah 75 hari
· Google, mesin pencari terbesar mengindeks kurang dari 18% web yang ada.
· Sebagian besar apa yang ada di Internet belum dapat diindeks oleh mesin pencari tradisional hingga masih banyak yang tersembunyi. Dikenal dengan nama Invisible Web atau Deep Web.
· Siapa saja dapat mempublikasikan situsnya tanpa ada yang dapat mengecek kebenaran, kemutakhiran dan keotentikan situs itu.
· Harus diakui ada situs yang memilki nilai negatif, namun tidak lebih dari 1%

Jelas gambaran pada tahun 2002 itu tentu sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan Internet masa kini. Penulis belum dapat menemukan data yang lebih baru. Mungkinkah hal negatif yang disebut pada butir terakhir justru menjadi semakin besar?
Tidak dapat dibantah, banyak keuntungan diperoleh dengan kehadiran Internet. Namun kehadiran internet dan pola kemudahan informasi yang ditawarkan perlu dicermati. Stephen Abram, presiden Special Librrary Association (SLA) berpendapat pada dasarnya Internet:

· Berisi terlalu banyak informasi
· Tidak memiliki kejelasan batas kualitas dan otoritas
· Dapat dimanipulasi pihak ketiga melalui optimasi mesin pencari
· Berpotensi memberikan jawab berbeda tergantung profil dan perilaku pencari informasi
· Memfokuskan pada upaya memenuhi kebutuhan pemasang iklan
· Mudah diakses siapa saja sehingga perpustakaan kalah dalam keunggulan kompetitif

Jumlah informasi yang tersedia di Internet memang mengagumkan. Coba cari saja dengan mesin pencari yang tersedia untuk satu kata kunci. Pasti akan ditemukan ribuan situs. Hanya saja apakah situs yang ditemukan itu sesuai dengan yang diperlukan? Dalam hal ini perlu dipertanyakan apa yang dulu sering kita sebut dengan istilah presisi. Kalaupun ditemukan apa yang kita cari itu, namun masih muncul pertanyaan tentang kebenaran informasi tersebut. Adakah jaminan akan kebenaran karena sering tidak ada pihak yang mengontrol kualitas. Tiada otoritas yang bertanggung jawab atas validitas informasi yang ada di Internet. Semua hanya tergantung pada pihak yang memasukkannya di Internet.

Ketidak tepatan temuan dari mesin pencari juga dapat diakibatkan karena trick pihak pemilik situs dalam mengoptimasikan mesin pencari sehingga situs yang mereka kembangkan menjadi mudah ditemukan dibanding dengan situs lain yang tidak menggunakan trick sejenis. Harus diingat bahwa pada dasarnya fokus upaya provider adalah untuk memenuhi kebutuhan pemasang iklan. Internet sudah dianggap sebagai pasar bagi perdagangan. Pendekatan komersial nampaknya mulai mendominasi warna sosial-kemanusiaan internet. Potensi pasar Internet memang mengagumkan karena tersedia dan dapat diakses setiap saat selama 24 jam dan tujuh hari penuh. Perpustakaan jelas kalah dalam keunggulan kompetitif ini. Apakah perpustakaan akan membuka layanan fisiknya 24 jam penuh selama tujuh hari? Penulis berpendapat pendekatan keunggulan layanan kualitatif perlu dilakukan perpustakaan agar tetap eksis dalam keseharian hidup masyarakat.

Ditilik dari materi berita (news), Internet unggul karena kemutakhirannya. Pembaruan berita dapat dilakukan setiap saat dan pada saat yang hampir sama pemakai sudah mengakses informasi yang diperbaharui tadi. Lagi pula dapat diakses dari mana saja apakah di rumah, tempat kerja, atau dalam perjalanan dengan menggunakan perangkat gelombang radio. Di sisi lain kadang hanya hal yang terbaru yang masih ada dalam sebuah situs. Arsip maupun keberlangsungan hidup situs sering tidak jelas. Keuntungan lain bahwa semua pihak dapat menggunakan fasilitas Internet baik untuk akses maupun publikasi, upload maupun down load baik teks, gambar, maupun suara. Lagi pula untuk melakukannya hanya memerlukan pengetahuan dan ketrampilan komputer minimal. Dengan dikata lain Internet nyaman dipakai.

Meski nyaman dipakai ada kemungkinan upaya mencari informasi dapat melenceng dari tujuan semual. Banyak pihak akan terbuang waktu untuk menjelajahi situs yang bertebaran itu. Maksud semua untuk efektif menemukan informasi yang dicari menjadi pengembaraan dalam rimba raya Internet yang mengakibatkan tidak produktif. Mungkin pengguna Face Book (FB) pernah merasakan hal ini. Akankah kita kecanduan akan hal yang non-produktif? Apalagi jika harus mengeluarkan beaya akses. Semua itu menjadi pertimbangan dalam menggunakan Internet.



DILEMA PERPUSTAKAAN INDONESIA
Anggap saja awal kehadiran perpustakaan di Indonesia bersamaan dengan hadirnya kemampuan tulis menulis di masa kerajaan Indonesia dahulu. Para pujangga istana telah menulis kisah raja maupun gubahan cerita atau ramalan yang tentunya menjadi koleksi kerajaan yang disimpan dan dipelihara. Memang belum terdapat bukti adanya pustakawan dalam lingkungan istana. Mungkin para pujangga tersebut melaksanakan fungsi pustakawan di samping juga sebagai juru tulis istana. Apakah fungsi mengarang, menulis dan merawat pustaka menjadi tugas seorang yang disebut pujangga pada masa lalu?

Semua itu sampai kini masih menjadi pertanyaan yang seharusnya dapat dicari jawabnya melalui penelitian ilmiah. Sayang sejauh ini belum ada pustakawan Indonesia berminat melakukan penelitian tersebut. Padahal sejarah perpustakaan Indonesia harus diawali dengan berbagai penelitian sejenis. Dari sejarah ini dapat dirumuskan jati diri perpustakaan dan kepustakawanan Indonesia. Tidak mengherankan jika pustakawan Indonesia sampai kini belum (tidak) memahami jati diri profesi dan lembaga. Dengan kata lain pustakawan belum memahami falsafah profesinya. Jangan ditanya pemahaman dan pandangan masyarakat umum terhadap pustakawan dan perpustakaan.

Pustakawan masih gamang menghadapi pihak luar. Setiap perdebatan dengan pihak luar terutama pemegang otoritas, pustakawan biasanya takluk pada pendapat mereka. Pustakawan tidak bebas dalam menentukan posisi kelembagaan, bahkan dalam menentukan posisi dirinya sendiri di antara sesama sivitas lembaga. Meski jabatan pustakawan telah diakui sebagai jabatan fungsional, namun Perpustakaan Nasional (Perpusnas) saja sebagai lembaga pembina, belum menempatkan pustakawannya sebagai pemegang peran utama. Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) kini nampak tidak mengutamakan pembinaan profesi. Sekolah perpustakaan yang ada di berbagai tempat belum jelas akan menghasilkan pustakawan dengan mutu seperti apa. Konsentrasi perkuliahan masih sangat berorientasi teknis (bagaimana mengerjakan). Jarang yang mau memulai mendiskusikan masalah “mengapa mengerjakan”. Tidak heran juga kebanyakan calon pustakawan yang dihasilkan hanyalah sebatas tukang meski menyandang gelar sarjana

Pada awal tulisan ini disebut juga lambatnya perpustakaan Indonesia dalam menerapkan perkembangan TIK. Penulis mengalami sendiri sewaktu mulai terlibat merintis penerapan komputer di Pusat Dolumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII-LIPI) pada awal dasa warsa 1980 an. Upaya visioner yang mulai dilakukan PDII-LIPI sejak 1970 untuk menyusun Katalog Induk Majalah (KIM) baru berhasil diwujudkan pada 1975 dengan terbitnya KIM berbantuan komputer. Penerbitan itupun masih menggunakan komputer Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL). PDII-LIPI sendiri baru dapat memiliki komputer mini Hewlett Packard 3000, pada tahun 1982. Pembangunan pangkalan data bibliografi baru mulai dilakukan tahun 1983. Ekspose akses pangkalan data PDII-LIPI di Gatot Subroto dari Perpusnas di Salemba Raya dilakukan untuk disaksikan oleh Kepala Negara. Namun pada waktu itu masih banyak pustakawan senior yang menganggap perpustakaan Indonesia belum memerlukan komputer.
Demikian juga waktu Ibu Luwarsih Pringgoadisurjo mulai melontarkan gagasan jaringan komputer untuk memajukan jaringan perpustakaan yang lahir pada 1971. Rasanya belum mendapat tanggapan dari sesama perpustakaan di Indonesia. Hanya karena kegigihan Ibu Luwarsih meyakinkan Dewan Riset Nasional (DRN) dan US National Academy of Sciences, maka Lokakarya dan Konferensi Pembinaan Jasa Informasi dan Teknologi diselenggarakan pada tanggal 16-19 Juni 1986. Dalam pertemuan itu dibahas permasalahan jasa dokumentasi dan informasi ilmiah dan kemungkinan menghubungkan berbagai jasa tersebut dalam jaringan komputer. Lokakarya ini menghasilkan proyek Ipteknet yang menjadi awal koneksi lembaga penelitian Indonesia dan perpustakaannya ke jaringan global (Internet).

Ipteknet sendiri baru dapat dilaksanakan pada 1996 saat perkembangan jaringan dunia justru berkembangan tidak linier lagi namun eksponensial. Indonesia mengalami krisis ekonomi pada 1997. Perpustakaan banyak mengalami penyusutan dana, termasuk dana bagi pengadaan sistem komputer. Pustakawan tertinggal dari rekannya para spesialis komputer dalam mengikuti perkembangan TIK. Jika ada pustakawan yang berhasil mengikuti bahkan memelopori upaya komputerisasi perpustakaan adalah karena usaha pribadi. Perpustakaan Indonesia belum bersepakat atas suatu konsep otomasi perpustakaan Indonesia. Otomasi perpustakaan berlanjut dengan proses digitalisasi. Pada fase inilah muncul konsep perpustakaan digital. Sayang bahwa juga belum ada kesepakatan tentang perpustakaan digital di kalangan pustakawan sendiri. Perkembangan perpustakaan dunia sudah menerapkan konsep Perpustakaan 2.0 kapan konsep ini akan diterapkan di Indonesia?

Secara singkat permasalahan perpustakaan di Indonesia diawali dengan belum adanya konsep perpustakaan secara nasional. Kedua adalah lemahnya mutu pustakawan yang ada. Ketiga adalah lambatnya penerapan TIK dalam perpustakaan. Pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal ini adalah Perpustakaan Nasional RI (yang menyebut dirinya) sebagai lembaga pembina semua jenis perpustakaan di Indonesia. Kedua adalah berbagai sekolah perpustakaan yang mendidik mahasiswa menjadi calon pustakawan. Ketiga adalah organisasi profesi kepustakawanan yang ada. Mau dan mampukah tiga unsur ini bersatu memecahkan permasalahan tersebut? Solusi itu diperlukan agar perpustakaan dapat hidup nyaman dalam lingkungan Internet.


EPILOG

Mengakhiri tulisan ini penulis tidak akan menyimpulkan, bahkan mengajak semua untuk berpikir mencari solusi bagaimana membuat perpustakaan dapat terampil berselancar dalam gelombang Internet. Apa yang disampaikan tulisan ini dimaksudkan sebagai pembuka dan pemicu pemikiran menuju solusi tersebut. Demikian juga dengan lampiran yang disertakan. Berikut adalah kerangka pikir yang penulis usulkan. Mohon ditanggapi.

· kehidupan adalah fungsi ruang dan waktu yang disimbolkan dengan f(x,y,z,t).
· x, y, z adalah variabel terbalikkan (reversible) sedang variabel t adalah variabel tak terbalikkan (irreversible)
· dalam ruang dan waktu inilah pustakawan, perpustakaan, dan TIK berada.
· variabel waktu (t) selalu bergerak ke depan maka kehidupan juga bergerak ke depan
· demikian juga pustakawan, perpustakaan, dan TIK selalu bergerak ke depan
· pustakawan adalah manusia (mahkluk) yang memiliki kehendak bebas
· pustakawan adalah subjek, sedang perpustakaan dan TIK hanyalah objek
· pustakawan menjadi pemegang peran utama kehidupan perpustakaan
· perpustakaan merupakan objek dan hasil kerja pustakawan
· perpustakaan memiliki fungsi: pendidikan, informasi, penelitian, dokumentasi, rekreasi
· pustakawan memakai TIK untuk membangun dan mengembangkan perpustakaan
· penggunaan TIK dalam perpustakaan menjadi kewenangan pustakawan
· meski pada dasarnya TIK hanya alat, namun pada perkembangannya berpengaruh pada pola pikir dan pola tindak pustakawan
· mutu perpustakaan sebanding dengan mutu pustakawannya
· mutu pustakawan ditingkatkan melalui pengembangan profesional
· pustakawan wajib mengadaptasi kemajuan TIK dan mengembangkan kemampuannya agar tidak terlempar ke luar arena


Semarang, 28 Mei 2009
BS

BACAAN

ABRAM, Stephen (2008)
Finding our voices in an internet world: although it might change, at this point search engines and electronic information do a very poor job of sensing the end user’s specific context. Information Outlook, Dec 2008.

ALVINO, Mark (2001)
The Social Nature of Information. Library Trends, Winter, 2001

BLYBERG, John (2007)
Library 2.0 : life as a twopointopian. Tersedia pada www.blyberg.net
Darien Library, Darien, CT, ACRL/NY - Baruch College, Nov 30, 2007.

BRIDGES, Karl (2004)
Boyd cycle theory in the context of non-ccoprative games: implications for libraries. Library Phylosophy and Practice. Spring, 2004.

CASEY, Michael E. and Laura C. Savastinuk (2006)
Library 2.0 : Service for the next generation library. Library Journal, 9/1/2006

CREDARO, A. B. ( 2002)
Now we've got the Internet, why do we still need libraries? Tersedia di Internet pada: http://warriorlibrarian.com/RESEARCH/libresearch.html

FERNANDEZ, Peter (2009)
Online social networking sites and privacy: revisiting ethical considerations for a new generation of technology. Library Philosophy and Practice 2009 (March)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar